“Potensi
Konflik Menjelang Pemilihan Walikota Makassar”
Menjelang pemilihan
Walikota di Makassar, berbagai foto baliho tersebar di penjuru sudut-sudut
jalan Kota Makassar dengan berbagai tagline yang berbeda dan berlatar strata
sosial yang berbeda pula, ada yang berasal dari Politisi, pengusaha, birokrat,
dan praktisi atau aktivis Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Bukan hanya foto
dari calon saja yang tersebar di penjuru kota makassar, akan tetapi berbagai
kelompok atau community tersebar di makassar dengan bernamakan salah satu calon
kandidat. Kelompok inilah yang nantinya menjadi pendukung utama dalam
pelaksanaan proses kampanye yang dilakukan oleh calon Walikota serta menjadi
basis suara yang akan menentukan suara calon walikota dalam proses pemilihan
nantinya.
Dalam proses
pelaksanaannya, pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung ternyata seringkali menyebabkan sejumlah persoalan terkait proses pelaksanaannya yang dinilai
cenderung menghamburkan dana rakyat termasuk dugaan money politic, serta tidak jarang hasil pilkada langsung itu
direspon secara negatif sehingga berbuntut kerusuhan dan kekerasan. Misalnya, Konflik
pasca pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan yang berbuntut aksi kekerasan yang menjurus kerusuhan dapat dilihat yang terjadi
di Makassar, dimana terjadi konflik perang busur dan senjata rakitan papporo antar
pendukung Calon Gubernur (CAGUB). Bukan hanya itu, aksi kekerasan yang berujung
konflik juga terjadi pasca pemilhan Walikota di Palopo pada putaran kedua.
Massa pendukung dari Haidir Basir dan Thamrin Jufri mengamuk karena tidak
menerima kekalahan dari pasangan Judas Amir dan Akhmad Syarfuddin yang di usung
oleh Partai Golkar pasca pengumuman hasil penghitungan suara yang dilakukan
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Palopo. Massa Pendukung dari Haidir kemudian
mengamuk dan membakar Kantor KPU, bukan hanya itu massa juga membakar kantor
dari Partai Golkar di Kecamatan Wara Utara yang akhirnya berujung konflik
antara pendukung Haidir dan pendukung Judas. Selain itu, Massa juga membakar
Kantor Walikota Palopo yang berujung bentrok antara pendukung calon Walikota
dengan Aparat kepolisian.
Hal serupa tidak menutup
kemungkinan akan terjadi di Makassar pasca pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota. Dengan tersebarnya beberapa community atau massa pendukung yang
dibentuk oleh para calon Walikota tidak menutup kemungkinan akan terjadi
konflik. Orang-orang Makassar yang terkenal dengan watak yang keras dan
cenderung tidak bisa menerima kekalahan
menjadi salah satu pemicu konflik. Maswadi Rauf salah satu pakar politik menyatakan
bahwa, wajar apabila demokrasi dipenuhi oleh konflik karena setiap orang atau
kelompok mempunyai kepentingan dan pendapat masing-masing yang bukan saja
berbeda tetapi bahkan dapat bertentangan satu sama lain. Potensi konflik
biasanya dapat dengan mudah tumbuh dan berkembang melalui aspek-aspek
primordial, seperti etnis, agama, ataupun kebudayaan. Dalam kondisi masyarakat
yang majemuk, potensi terjadinya konflik pada pemilihan Walikota Makassar
nantinya bisa terjadi. Sebab, potensi konflik yang berasal dari aspek
primordial cenderung sulit untuk dihilangkan.
Selain konflik antar pendukung,
potensi konflik lainnya yang dapat terjadi adalah konflik elit di internal
partai karena dari beberapa partai yang akan ikut dalam kontestasi Pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota setiap partai memberikan keleluasaan kepada setiap
kadernya yang dianggap potensial untuk mensosialisasikan diri ke masyarakat.
Dari proses itu potensi konflik berikutnya adalah pada saat kader partai berupaya
memenangkan pertarungan di internal partai untuk diusung sebagai calon tunggal
partai pada pemilihan. Melihat konflik
yang telah terjadi pada pelaksanaan Pemilukada di beberapa daerah, maka besar
kemungkinan akan terjadi konflik antara
konflik sosial dalam proses Pemilukada. Ada banyak potensi konflik yang mudah
tumbuh dalam proses pilkada di daerah dan tidak menutup kemungkinan hal ini
bisa terjadi pada pemilihan Walikota Makassar nantinya. Hal lain yang dapat
pula dilihat adalah dari aspek penyelenggara Pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Panitia pengawas Pemilu (Panwaslu), karena konflik biasanya juga
timbul dari proses pelaksanaan yang kurang maksimal yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar