Minggu, 16 Juni 2013

Potensi Konflik Menjelang Pilwalkot Makassar


“Potensi Konflik Menjelang Pemilihan Walikota Makassar”

Menjelang pemilihan Walikota di Makassar, berbagai foto baliho tersebar di penjuru sudut-sudut jalan Kota Makassar dengan berbagai tagline yang berbeda dan berlatar strata sosial yang berbeda pula, ada yang berasal dari Politisi, pengusaha, birokrat, dan praktisi atau aktivis Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Bukan hanya foto dari calon saja yang tersebar di penjuru kota makassar, akan tetapi berbagai kelompok atau community tersebar di makassar dengan bernamakan salah satu calon kandidat. Kelompok inilah yang nantinya menjadi pendukung utama dalam pelaksanaan proses kampanye yang dilakukan oleh calon Walikota serta menjadi basis suara yang akan menentukan suara calon walikota dalam proses pemilihan nantinya.
Dalam proses pelaksanaannya, pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung ternyata seringkali menyebabkan sejumlah persoalan terkait proses pelaksanaannya yang dinilai cenderung menghamburkan dana rakyat termasuk dugaan money politic, serta tidak jarang hasil pilkada langsung itu direspon secara negatif sehingga berbuntut kerusuhan dan kekerasan. Misalnya, Konflik pasca pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan yang berbuntut aksi kekerasan yang menjurus kerusuhan dapat dilihat yang terjadi di Makassar, dimana terjadi konflik perang busur dan senjata rakitan papporo antar pendukung Calon Gubernur (CAGUB). Bukan hanya itu, aksi kekerasan yang berujung konflik juga terjadi pasca pemilhan Walikota di Palopo pada putaran kedua. Massa pendukung dari Haidir Basir dan Thamrin Jufri mengamuk karena tidak menerima kekalahan dari pasangan Judas Amir dan Akhmad Syarfuddin yang di usung oleh Partai Golkar pasca pengumuman hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Palopo. Massa Pendukung dari Haidir kemudian mengamuk dan membakar Kantor KPU, bukan hanya itu massa juga membakar kantor dari Partai Golkar di Kecamatan Wara Utara yang akhirnya berujung konflik antara pendukung Haidir dan pendukung Judas. Selain itu, Massa juga membakar Kantor Walikota Palopo yang berujung bentrok antara pendukung calon Walikota dengan Aparat kepolisian.
Hal serupa tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Makassar pasca pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. Dengan tersebarnya beberapa community atau massa pendukung yang dibentuk oleh para calon Walikota tidak menutup kemungkinan akan terjadi konflik. Orang-orang Makassar yang terkenal dengan watak yang keras dan cenderung tidak  bisa menerima kekalahan menjadi salah satu pemicu konflik. Maswadi Rauf salah satu pakar politik menyatakan bahwa, wajar apabila demokrasi dipenuhi oleh konflik karena setiap orang atau kelompok mempunyai kepentingan dan pendapat masing-masing yang bukan saja berbeda tetapi bahkan dapat bertentangan satu sama lain. Potensi konflik biasanya dapat dengan mudah tumbuh dan berkembang melalui aspek-aspek primordial, seperti etnis, agama, ataupun kebudayaan. Dalam kondisi masyarakat yang majemuk, potensi terjadinya konflik pada pemilihan Walikota Makassar nantinya bisa terjadi. Sebab, potensi konflik yang berasal dari aspek primordial cenderung sulit untuk dihilangkan.
Selain konflik antar pendukung, potensi konflik lainnya yang dapat terjadi adalah konflik elit di internal partai karena dari beberapa partai yang akan ikut dalam kontestasi Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota setiap partai memberikan keleluasaan kepada setiap kadernya yang dianggap potensial untuk mensosialisasikan diri ke masyarakat. Dari proses itu potensi konflik berikutnya adalah pada saat kader partai berupaya memenangkan pertarungan di internal partai untuk diusung sebagai calon tunggal partai pada pemilihan. Melihat  konflik yang telah terjadi pada pelaksanaan Pemilukada di beberapa daerah, maka besar kemungkinan  akan terjadi konflik antara konflik sosial dalam proses Pemilukada. Ada banyak potensi konflik yang mudah tumbuh dalam proses pilkada di daerah dan tidak menutup kemungkinan hal ini bisa terjadi pada pemilihan Walikota Makassar nantinya. Hal lain yang dapat pula dilihat adalah dari aspek penyelenggara Pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia pengawas Pemilu (Panwaslu), karena konflik biasanya juga timbul dari proses pelaksanaan yang kurang maksimal yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar